Datapos.id Pringsewu – Aisyah Aqila Fazila Yusyah, gadis 12 tahun yang kalem dan sangat menjaga kebersihan, tak pernah menyulitkan siapa pun. Ibunya menanamkan nilai hidup bersih sebagai tanggung jawab sejak dini, dan Aisyah menjalankannya seolah itu adalah bahasanya untuk mencintai dunia. Lahir pada 3 Juli 2013, namanya yang berarti hidup jujur dan bahagia membawa makna di setiap langkahnya selama dua belas tahun empat bulan ia hadir di dunia.
Siang hari 22 November 2025, yang seharusnya jam kosong biasa di kelas 6, berubah menjadi hari yang mengubah segalanya. Guru pembina Pramuka mengajak Aisyah dan beberapa teman keluar kelas untuk mencari tumbuhan obat herbal, menuju sebuah bukit di belakang sekolah Negeri 1 Margakaya Pringsewu Lampung.
Bukit yang tinggi itu memiliki tebing curam dengan pondasi beton di bawahnya. Namun keputusan yang mengejutkan diambil: guru memilih tinggal di pos, membiarkan murid-murid naik tanpa pengawasan. Di titik itulah, nasib Aisyah berubah sepenuhnya.
Aisyah terjatuh dari ketinggian sekitar sepuluh meter, tubuhnya menghantam pondasi beton yang keras dan dingin. Meskipun lukanya terlihat ringan hanya dengan kaki yang memar dan tanpa darah yang menakutkan, kerusakan internal terjadi seperti badai yang tidak kelihatan: ginjal, kandung kemih, jantung, hingga otaknya mengalami trauma parah.
Meskipun masih berjuang, waktu bergerak terlalu cepat. Dalam waktu 28 jam sejak terjatuh, Aisyah berpulang. Allah menjemputnya dalam keheningan yang bahkan belum sempat dipahami oleh ibunya yang mencintainya dengan sepenuh hati.
Yang membuat luka semakin dalam bukan hanya kepergian sang anak, tetapi juga diamnya orang-orang yang seharusnya memberi penjelasan. Tidak ada kabar, tidak ada panggilan, bahkan sekolah memberi keterangan yang tak selaras dengan kenyataan: menyebut Aisyah hanya pusing atau masuk angin.
Pertanyaan yang menekan dada ibu Aisyah hingga hari ini: “Mengapa harus berbohong?” Ia yakin akan melakukan apa pun untuk menyelamatkan putrinya jika diberi tahu lebih awal. “Kalau posisi kita ditukar, mampukah kalian menerima kebohongan seperti ini?” begitu jeritan batinnya yang tak terucapkan.
Meskipun duka membuat dunia terasa runtuh, ibu Aisyah mencoba berdamai dengan takdir. Yang ia inginkan kini sederhana: agar sekolah berdiri di atas kejujuran, agar nyawa kecil Aisyah tidak menjadi permainan, dan agar tidak ada lagi keluarga yang merasakan sunyi seperti yang ia rasakan di depan tebing itu. Dunia menunggu apakah kejujuran itu akhirnya akan muncul sebagai penghormatan terakhir bagi hidup seorang anak yang selalu belajar kebersihan dan kebenaran. (Red)

