Kekerasan Terhadap Jurnalis Saat Meliput Kasus Bunuh Diri, Menimbulkan Kecaman

Bandarlampung, Datapos.id – Sebuah insiden memprihatinkan terjadi di Bandarlampung. Yolanda Margareta, jurnalis Harian Pikiran Lampung, menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh seorang oknum polisi. Peristiwa ini terjadi, lebih tepatnya, saat Yolanda sedang menjalankan tugas jurnalistik, meliput kasus penemuan mayat korban gantung diri di Jalan Yos Sudarso. Insiden ini menimbulkan kecaman publik dan kembali menyoroti pentingnya perlindungan terhadap profesi wartawan di Indonesia.

Saat Yolanda hendak mendokumentasikan jenazah korban untuk keperluan pemberitaan, seorang oknum polisi berpakaian oranye bertuliskan INAFIS secara tiba-tiba memukul tangannya. Akibatnya, ponsel Yolanda terjatuh dan mengalami kerusakan. Tidak berhenti sampai di situ, oknum polisi tersebut kemudian secara kasar memerintahkan Yolanda untuk menjauh dari lokasi kejadian. Dengan demikian, tugas jurnalistik Yolanda dihentikan secara paksa dan tidak profesional. Ini merupakan tindakan yang jelas-jelas melanggar etika dan hukum.

Oknum polisi tersebut melontarkan pernyataan yang kasar, “Saya Tidak suka di foto-foto, keluar dari garis Police Line sana jauh-jauh jangan ganggu saya!” Yolanda, dengan perasaan cemas dan gemetar, kemudian mencoba menjelaskan bahwa ia sedang menjalankan tugas jurnalistik dan memotret jenazah, bukan oknum polisi tersebut. Ia memohon, “Saya tidak moto bapak loh, kenapa bapak kasar banget mukul tangan saya sampe hp saya kebanting, saya juga dari media pak, saya dari Pikiran Lampung, kalo memang saya salah jangan gitu dong, kan bisa ngomong baik-baik pak,” Namun, sayangnya, penjelasan tersebut diabaikan. Oknum polisi tersebut tetap bersikeras dan mengusir Yolanda dengan nada tinggi.

Diskriminasi Terhadap Wartawan, Menunjukkan Ketidakadilan

Setelah Yolanda menjauh, yang lebih mengejutkan, oknum polisi tersebut membiarkan warga sipil masuk ke dalam garis polisi untuk mengambil gambar jenazah. Perlakuan yang tidak adil ini semakin menambah kekecewaan Yolanda. Jelas terlihat adanya diskriminasi dan pelanggaran terhadap hak jurnalis untuk meliput. Lebih dari itu, peristiwa ini menimbulkan pertanyaan serius tentang penegakan hukum yang adil dan konsisten.

Hingga proses evakuasi jenazah selesai, oknum polisi tersebut tidak menunjukkan itikad baik untuk meminta maaf atau memberikan penjelasan atas tindakannya. Sikap tidak profesional ini mencerminkan kurangnya pemahaman akan peran penting pers dalam memberikan informasi kepada publik. Selain itu, peristiwa ini juga menunjukkan kurangnya penghargaan terhadap profesi jurnalistik.

Insiden ini sekali lagi menjadi pengingat akan betapa pentingnya perlindungan terhadap jurnalis dalam menjalankan tugasnya. Aparat penegak hukum seharusnya melindungi dan memfasilitasi kerja jurnalis, bukan justru menghalangi atau bahkan melakukan kekerasan. Oleh karena itu, peristiwa ini harus menjadi perhatian serius bagi pihak kepolisian dan lembaga terkait lainnya.

Tindakan Tegas dan Peningkatan Profesionalisme Aparat Penegak Hukum

Sebagai tindak lanjut, pihak kepolisian harus menindak tegas oknum polisi yang bersangkutan. Selain itu, perlu adanya peningkatan pelatihan dan peningkatan profesionalisme bagi seluruh anggota kepolisian dalam berinteraksi dengan media. Hal ini penting untuk membangun hubungan yang harmonis dan saling menghormati antara aparat penegak hukum dan insan pers.

Peristiwa ini kembali menegaskan peran krusial media dalam memberikan informasi kepada masyarakat. Kebebasan pers merupakan pilar demokrasi yang harus dihormati dan dijamin. Kejadian ini dapat menjadi momentum untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya kerja jurnalistik yang profesional. (Red)

error: Content is protected !!